Yesaya bolak-balik menatap dua orang di depannya dengan seringai kecil di wajahnya. Satu, karena ia tahu benar bahwa teman laki-lakinya itu adalah salah satu murid kesayangan guru matematika mereka—selalu menjadi murid andalan yang disuruh menyelesaikan soal di papan tulis. Dua, karena sekarang laki-laki yang sama sedang memasang muka bingung sambil mendengarkan penjelasan dari gadis di sampingnya.
"Ini perasaan yang minta diajarin gue ya kok lu ngerebut Thea dari gue sih, Pi?" tegur Yesaya setelah lima menit membiarkan Pierre melontarkan berbagai pertanyaan pada pasmennya. "Ini kan pelajaran minggu lalu, Pi. Yang waktu baru dijelasin lu udah bisa ngerjain sendiri di papan."
"Haaa emang iya ya hehe... kok gua udah lupa dah.." Pierre pura-pura tertawa sambil menggaruk belakang kepalanya. Yesaya tahu benar temannya itu tidak lupa apa-apa. Entah karena alasan apa Pierre memutuskan untuk berbohong, Yesaya memilih untuk membiarkannya kali itu.
"Lu masih bingung yang mana lagi, Sa? Yang nomor ini udah ngerti kan?" Kini Thea menggeser buku matematikanya ke arah Yesaya dan kembali berbicara dengannya. Masih ada sedikit senyuman yang menempel pada wajah manisnya.
Sebenernya gadis itu sadar bahwa Pierre tidak memerlukan bantuan apa-apa dalam matematika. Pertanyaan yang dilontarkan oleh laki-laki tersebut sedikit tidak masuk akal, bahkan Pierre sempat mengoreksi kesalahan yang Thea lakukan dalam hitungannya. Namun, tidak beda dari Yesaya, ia merasa terhibur ketika melihat sandiwara kecil Pierre.
Thea dan Yesaya kembali menjalankan diskusi mereka yang tadi sempat terpotong karena kedatangan satu 'penyusup'. Sedangkan Pierre menyibukkan dirinya dengan bermain bersama kucing sekolah yang memang tinggal di sekitar situ.
Jupi, namanya. Pierre yang memberikan nama itu. Tidak ada yang tahu apakah kucing tersebut sudah punya nama sebelumnya atau tidak, tapi karena orang-orang terus-menerus memanggilnya dengan 'cing' atau 'meng', Pierre akhirnya memberi nama Jupi dari Jupiter.
"Biar nanti kalo gua bawa Pluto ke sekolah bisa cepet akrab mereka," jelas Pierre saat Thea bertanya alasan di balik nama tersebut.
Namun, belum lima menit dan kucing tersebut sudah pergi lagi berkelana di lapangan rumput sekolah. Cemberut pun kembali singgah di wajah Pierre akibat rasa bosan yang melanda.
Sialnya, di saat seperti ini, baterai *handphone-*nya sudah tidak bernyawa. Coba saja ia tidak memaksakan diri menonton youtube sampai jam empat pagi, pasti ia tidak akan bangun dengan tulisan 5% di layar handphone-nya.
Melihat pasangan mentornya yang terlihat miris, hanya bermain dengan daun-daun yang ada di bawah kaki mereka, Thea pun memutuskan untuk memimjamkan ipad-nya pada Pierre.
"Nih, Pi. Nonton youtube aja atau main game di sini, tapi adanya plantss vs zombie doang sihh," ucap Thea sambil mengeluarkan gadget tersebut dari dalam tasnya.
"Eh, gapapa, Te?"
"Kasian muka lu kayak kurang kasih sayang gitu. Main aja nih biar dapet kasih sayang dari zombie-zombie. Tapi buat akun baru aja yaa, eh pake akun gue juga gapapa sih.. terserah lu deh."
"Siaap, bocil!"
"Bocil?" tanya Thea.
"Bos kecil."
Pierre menunjukkan senyum khasnya dan dengan kesadaran penuh, Thea sadar bahwa ada perasaan aneh yang muncul dalam perutnya.
Perasaan yang pernah ia dapatkan ketika pada umur tujuh tahun, ada yang menaruh sekuntum bunga lily di kantung tasnya. Juga pernah ia dapatkan ketika ada yang mengirimnya pesan bertanda secret admirer pada acara valentine SMP-nya.
Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya sambil kembali mengalihkan fokusnya pada Yesaya. Tidak ingin memikirkan kejadian tadi lebih dalam.