Sang luna sudah bermain cukup lama di antara para bintang, tetapi sosok gadis yang sejak tadi menghilang belum juga terlihat.

Dari kejauhan sana, terlihat cahaya besar yang bersinar di antara pepohonan. Cahaya yang berasal dari jalar api unggun yang sedang menyala dengan gagah.

Dapat dibilang, kegiatan ini merupakan salah satu agenda utama dalam jambore. Kesempatan bagi para peserta untuk mengistirahatkan diri setelah kegiatan jambore yang melelahkan. Juga untuk menikmati indahnya panorama pada malam hari.

Namun, tidak untuk Pierre. Sedetik pun ia tidak dapat melalui malam itu dengan tenang.

Jauh dari tempat api unggun menyala, ia dan beberapa panitia lain tidak berhenti menyusuri hutan demi mencari Thea. Menggemakan nama gadis tersebut di antara pepohonan, berharap akan ada balasan yang didapatkan.

Setelah setengah jam berlalu dan hasil masih nihil, Pierre membuat sebuah permintaan untuk berpisah dari kelompok pencariannya—Theo, Yesa, dan Hanan.

The request received a lot of protests at first, but when they saw how desperate he was—almost close to bawling his eyes out—, they finally let him do a lone search.

Pierre tidak dapat menikmati indahnya panorama malam hari ketika benaknya dipenuhi oleh berbagai macam skenario tentang sang gadis. Hanya Thea, Thea, dan Thea. Mengiang mengalahkan suara nyanyian dari api unggun di sana.

Te, where are you...

Kedua maniknya sibuk bergerak kesana-kemari, bilur air mata mulai menghiasi pipinya. Jantung Pierre berdegup semakin kencang seiring waktu berjalan dan yang dapat ia lihat hanyalah kegelapan.

"Te! Thea!" Pierre terus-menerus meneriakkan nama gadis tersebut. Berharap akan datang suara yang menjawab panggilannya.

"Thea! Te, ini gua Pierre. Lu dimana, Teee?"

Suara sang laki-laki memenuhi udara hutan pada malam itu. Mengejutkan beberapa burung yang sedang beristirahat di atas pohon. Ia benar-benar tidak peduli lagi kalau teriakannya akan mengundang binatang buas—lebih baik daripada ia diam dan gagal menemukan Thea.

Keheningan yang menyambut panggilannya membuat Pierre semakin putus asa. Namun, kakinya tidak berhenti bergerak.

"Te, please jawab gua... please tell me that you're okay," tangisnya. Pierre tidak pernah merasakan kekhawatiran sebesar ini. Mengacaukan pikirannya dan menguras seluruh energi dalam dirinya.

"Thea! Thea, please... Jawab gua, Te. Kalo lu gak bisa teriak, please bikin suara pake apa aja. Let me know lu dimana..."

Tidak ada jawaban.

"Te... Te astaga gua belum sempet tembak lu masa lu mau ngilang gini? Te... Pluto still needs his mom... I... I still need you," isak Pierre.

Energi yang dipunyai Pierre semakin menghilang, habis terpakai setelah 3 jam menyusuri hutan, lantas langkah kakinya mulai melambat. Ia benci bagaimana ia membiarkan hal itu terjadi.