tw // mentions of panic attack
Hari Sabtu itu, lapangan tengah SMA San Joseph dipenuhi perbincangan dari berbagai sudut. Di dalam lingkaran-lingkaran kecil, para peserta Jambore sedang berdiskusi mengenai yel-yel masing-masing kelompok.
"Udah pada hafal belom?" tanya Keenan sambil menatap satu per satu anggota kelompoknya. Beberapa menjawab dengan kata 'sudah', sisanya menggeleng dengan malu sambil menyebutkan yel-yel mana yang belum mereka kuasai.
"Yang yel-yel pake lagu smash tuh lumayan panjang..."
"Masih bingung yang ini..."
"Coba kita nyanyi bareng-bareng dulu sekarang..."
Pierre berdiri mengawasi mereka dengan badan yang menghadap arah pagar sekolah. Matanya sibuk mencari-cari sosok gadis yang seharusnya berada di sampingnya saat itu. Sudah 20 menit berlalu tetapi Thea belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Sekilas Pierre melihat Igna dan Gego berdiskusi tidak jauh dari mereka. Alis mereka bertaut, bisikan-bisikan yang mereka lontarkan sekilas dapat Pierre susun dari bentuk bibir mereka.
"Thea mana nih? Udah lewat hampir setengah jam. Masalahnya kalo gini kan keliatan gak profesional di depan anak-anak mereka kecuali dia beneran ada emergency yang penting. Even so, harusnya dia kabarin dong."
"Iyaa I know, Na. Gue sama Pierre udah hubungin Thea dari tadi tapi belum dibales juga. Coba gua call lagi ya sekarang."
Ketika kepala Igna memutar ke arahnya secara tiba-tiba, Pierre langsung mengalihkan pandangannya kembali ke para peserta di depannya.
Kaki Pierre mengetuk-ngetuk tanah, bibirnya bawahnya ia gigit dalam gugup. Puluhan pesan sudah ia kirimkan pada pasangan mentornya dengan harapan ada satu saja balasan agar ia tahu kabar gadis tersebut. Sialnya, pada saat acara mulai dan para panitia harus menyimpan handphone mereka, ia belum mendapatkan notifikasi apapun.
Dalam hati, Pierre berterima kasih atas kesigapan Keenan dalam memimpin kelompoknya karena mereka hanya memerlukan sedikit bantuan dalam menjalankan diskusi. Pemandangan di depannya berhasil menarik sebuah simpul kecil di bibir walaupun otaknya sedang menyusun berbagai kemungkinan yang sekarang sedang terjadi dengan pasangan mentornya.
Sepertinya ia terlalu terfokus pada misinya dalam mencari Thea, sampai-sampai telinganya berhasil menangkap suara langkah kaki kecil dari arah pagar sekolah. Tidak ada mata yang teralih selain miliknya dan Pierre bersyukur atas hal itu karena hal pertama yang masuk dalam pandangannya adalah Thea yang berlari dengan tergesa-gesa.
Gadis tersebut berhenti tepat di depan Igna dan Gego yang langsung menampilkan raut wajah terkejut. Mata Pierre tetap melekat pada tiga remaja yang sekarang sedang berjalan menjauh dari keramaian, tepatnya pada Thea yang masih berusaha mengumpulkan napas.
Bulir-bulir keringat mendarat di pipi merahnya, jari-jarinya sibuk berkutik dengan baju putih yang membaluti tubuhnya. Pierre gagal menahan lengkungan sedih yang merangkak menuju bibirnya.
"Psstt.. psstt," bisik Pierre, berusaha menangkap atensi laki-laki di sampingnya. Misinya berhasil karena sedetik kemudian, ia langsung mendapat balasan. "Apaan?" Yesaya diam-diam menengok Pierre, tangannya masih berusaha menulis jawaban dari tugas yang sedang ia kerjakan.
Sambil berusaha sebaik mungkin untuk tidak menangkap perhatian dari guru geografi mereka yang sedang duduk di meja guru, Pierre menceritakan bagaimana ia melihat Thea dengan raut wajah yang sangat gugup. Pandangan mata gadis tersebut berpindah dari satu titik ke titik lain dalam satu kedipan sedangkan tangannya sibuk bermain dengan bagian bawah kemejanya.