"Eliaaaa, itu sosisnya udah mau gosong!!!"
"Eeehhh bentar ini telurnya gabisa ditinggal."
"YAAAHH GOSONG DIKIT HAHAHAHAHA."
Suara tawa sepuluh remaja yang sedang berusaha (keyword: berusaha) memasak mengisi udara kantin belakang SMA San Joseph.
Pada temu rasi kali ini, mereka diberi waktu untuk belajar cara memasak menggunakan peralatan masak portable yang nantinya akan mereka pakai selama jambore berlangsung. Sialnya, dalam kelompok mereka, hanya ada empat dari sepuluh orang yang biasa memasak di rumah. Sisanya hanya berusaha sebisa mereka lalu berserah dan berdoa kepada Tuhan.
Salah satu anggota dari kelompok tersebut adalah Jia yang sekarang sedang memegang beberapa macam sayur di tangannya. Remaja tersebut, dengan seluruh kebanggaan 180 cm-nya, berdiri membeku dengan mata yang bergerak kesana-kemari. Raut mukanya berganti setiap lima detik sekali—tertawa melihat suasana kelompoknya yang sangat menghibur, tetapi senyumnya langsung jatuh ketika mengingat tugas yang belum dikerjakan.
Pierre yang sedang mengawasi anak-anak kelompoknya dengan sebuah simpul kecil di wajah menangkap tubuh Jia yang tidak berganti tempat selama dua menit. Kakinya pun mulai melangkah mendekati laki-laki tersebut lalu berhenti tepat di sampingnya.
"Jia? Ini sayurnya belum dicuci?"
Sepertinya Jia sama sekali tidak menyadari kehadiran mentornya karena tubuh 180 cm itu sedikit melonjak ketika mendengar suara Pierre.
"Eh, iya pup— eehh maksudnya kak," balas laki-laki tersebut dengan kikuk.
Jia merutuki dirinya sendiri karena lupa bahwa mereka sedang berada dalam acara formal yang berarti ia harus memanggil kedua mentornya dengan sebutan 'kak'.
Untungnya, balasan yang didapatkan olehnya bukanlah sebuah peringatan, melainkan hanya suara kekehan kecil. "Hehehe kebiasaan yaaa manggil pup,” goda Pierre dengan kedua alis yang diangkat naik-turun. Jia ikut tertawa sembari menganggukkan kepalanya.
"Ini... aku... aku mau nanya ini cucinya pake sabun cuci piring gak sih, kak?" ujar laki-laki tersebut dengan sangat pelan agar pertanyaannya tidak sampai ke telinga orang lain.
Jia sudah menyiapkan mental untuk mendengar tertawaan orang lain karena pertanyaannya yang sepele, tetapi lagi dan lagi ia dikejutkan ketika reaksi yang didapatkan malah sebuah senyum tulus dari Pierre, diikuti dengan ucapan lembut.
"Sini yukk, bareng aku aja cucinyaa," ajak Pierre sembari mulai berjalan menuju keran air yang terletak tidak jauh dari tempat kelompok mereka. Jia mengikuti mentor laki-lakinya dengan wajah yang ceria.
Dari kejauhan, ada dua ujung bibir yang ikut terangkat melihat interaksi tersebut.
Thea memilih untuk menemani anak-anaknya dalam mengawasi lauk yang sedang dimasak. Sesekali ia membantu menjelaskan cara memakai alat-alat masak yang masih asing bagi para remaja kelas 10 itu. Reaksi mereka ketika pertama kali memakai kompor lapangan berhasil membuat mentor perempuan mereka tertawa kecil.
Beberapa menit kemudian, Pierre datang dengan Jia yang langsung kembali bergabung dengan anggota kelompok yang lain. Laki-laki tersebut perlahan mengistirahatkan badannya di samping Thea. Keduanya duduk dengan kaki yang diluruskan ke arah depan, menunggu masakan kesepuluh remaja tersebut selesai dibuat.
"Gimana, Te? Aman kaaan?" tanya Pierre sambil menatap pasangan mentornya.