Tepat pada detik matanya jatuh pada area sekolah, Thea menyadari absensi suara dan kehidupan yang ada. Tidak heran, hari Sabtu itu tepat satu hari setelah mereka kembali dari Jambore sehingga banyak yang lebih memilih untuk mengistirahatkan diri di rumah.

Terkecuali bagi Thea.

Gadis tersebut menyusuri lapangan sekolah, kelengangan yang menyelimuti hanya diisi oleh suara gantungan kunci yang menari-nari di tasnya. Kakinya segera melangkah menuju kantin belakang walaupun sempat berhenti untuk menyapa Jupi—sang kucing datang dengan bulu kotor sehabis bermain di lapangan rumput.

Ketika jaraknya dengan kantin belakang sudah semakin menipis, Thea mengambil waktu untuk menghirup satu napas kecil demi menenangkan pikirannya.

Malam kemarin, ia menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menyusun kata-kata yang akan ia sampaikan hari ini. Namun, pada akhirnya ia memutuskan untuk berbicara sesuai kata hatinya saja. Nothing would go wrong with that, pikirnya.

Pemandangan pertama yang tertangkap oleh matanya adalah Mima, duduk dengan kepala yang tertunduk. Keadaan gadis tersebut tidak seperti biasanya.

Berbeda dengan Mima yang dulu selalu terlihat rapih dengan senyum pada wajahnya. Mima yang pertama kali ia lihat di rapat pertama jambore.

Hari itu, ia seakan tidak peduli lagi dengan bagaimana rambutnya terserai ke segala arah. Ketika suara langkah kaki Thea mulai terdengar, gadis tersebut mengangkat kepalanya dengan lesu. Pada saat itulah, Thea melihat mata sang gadis.

Hampa. Bak angin kencang yang lewat pun tidak akan menganggu tatapan kosongnya.

Thea berjalan menghampiri Mima lalu duduk tepat di depannya.

“Hai, Mim,” sapa Thea sambil memberikan sebuah senyum tipis. Ingin sekali sang mentor memberikan senyum yang lebih lebar, tetapi memori akan malam menakutkan yang harus ia lalui pada jambore kemarin menahan Thea untuk menarik kedua ujung bibirnya dengan lebih.

“Hi,” balas Mima dengan singkat.

Hening. Mima benar-benar menghindari tatapan dari gadis di depannya. Ada harapan dari dalam diri Thea bahwa Mima akan memulai pembicaraan mereka hari itu. Akan tetapi, setelah dua menit berlalu dengan canggung dan tanpa kata apapun, ia akhirnya memutuskan untuk mengambil inisiatif dalam membuka dialog.

“Mim, I’ll make this quick.”

Kalimat Thea akhirnya membuat sang koordinator acara menautkan manik mereka berdua.

“Kalo lu mau gue jujur, gue mau banget marah sama lu,” ucap Thea dengan jujur. Matanya dapat menangkap perdebatan emosi yang muncul pada wajah Mima.

“Gue pengen banget…. maki-maki lu sekarang juga buat semua hal yang udah lu lakuin ke gue. Semenjak gue jadi pasmen Pierre, I can’t count how many shits you’ve put me through. Berapa kali gue nangis karna kata-kata lu. Berapa kali gue insecure dan overthinking cuma karna lu.”

Thea pun tak kuasa lagi menahan rasa sakit yang ia tampung selama ini. Lantas, satu pandangan pada mukanya saja dan siapapun dapat melihat beban yang ia simpan.

“Gue pengen… gua pengen bikin lu ngerasain apa yang gue rasain pas lu tinggalin gue sendiri di hutan malem itu. How hopeless I felt ketika gue kedinginan dan gak ada yang bisa bikin gue stop menggigil. Gue pengen lu tau apa rasanya dituduh tanpa bukti di depan orang banyak, dicemarin nama baiknya tapi lu bahkan gak punya kesempatan buat bela diri sendiri.”

Rasa bersalah mulai terasa dalam diri Mima, tetapi sang gadis masih enggan untuk menunjukannya. Memilih untuk menatap gadis di depannya masih dengan tatapan yang kosong.