"Okee, itu aja guys buat eval terakhir kita. Semoga semuanya udah siap dan jambore besok bisa berjalan dengan lancar." Igna mengakhiri evaluasi hari itu dengan senyum bangga. Emosi tersebut menjadi hal yang dirasakannya ketika melihat kerja keras para panitia yang sedikit lagi akan terbayar.
Sepanjang mendengar penjelasan terakhir dari panitia inti, Pierre terus-menerus mencari cara untuk menjahili gadis di sampingnya. Ia membuat berbagai macam ekspresi aneh, menggerak-gerakkan bibirnya mengikuti ucapan Gego di depan, juga menulis lelucon-lelucon di sebuah kertas lalu digesernya mendekati Thea agar gadis tersebut dapat membacanya.
Tentu, semua itu dilakukannya secara diam-diam agar tidak tertangkap oleh panitia lain. Thea pun terpaksa juga harus menyembunyikan tawanya.
Yang gagal mereka sadari adalah ada sepasang mata yang sejak tadi menatap mereka dengan sinis.
"Oke, itu aja kalo dari gua. Ada yang mau menyampaikan sesuatu?" tanya Gego setelah selesai mengucapkan pesan-pesan terakhirnya. Segera setelah pertanyaannya terucap, sebuah suara menggema memenuhi ruangan aula.
"Gue!"
Tubuh Thea seketika menegang, sadar akan pemilik dari suara tersebut. Matanya tidak berani bergerak, hanya terpaku pada Gego yang memasang ekspresi... tidak suka(?) pada wajahnya.
Dengan was-was, wakil ketua jambore tersebut menyerahkan mic kepada gadis yang kini sudah berdiri di depan dengan percaya diri.
Mima, dengan wajah tidak berdosa, menyapu pandangannya ke seisi ruangan sebelum berhenti tepat pada manik Thea.
Sekilas, Thea menangkap senyum licik yang diberikan koordinator acara tersebut, membuatnya semakin gugup menebak-nebak apa yang akan keluar dari bibir Mima.
Pierre melihat kepalan tangan Thea yang kuat serta raut wajahnya yang menunjukkan ketakutan. Ia pun perlahan mengambil tangan pasangan mentornya—mengejutkan Thea.
Kedua alis sang gadis mengerut dalam kebingungan, tetapi hatinya melembut ketika laki-laki di sampingnya menarik jarinya satu per satu. Kemudian mengelus bekas kuku yang terlihat pada telapak tangannya.
Pierre mengirimkan sebuah pesan melalui tatapannya, seakan berkata, 'It's okay. I'm here.'
And for a second, Thea believed that everything was going to be fine, until that voice came back.
"Jadi gue mau cerita sesuatu yang menurut gue penting banget buat kalian tau. Tapi, selama ini gue simpen sendiri soalnya gue berharap orang yang bersangkutan bisa ngubah sikapnya dan minta maaf. Ternyata sampe sekarang pun masih aja kayak gitu. Jadi ya udah mending gue ceritain aja di sini supaya semua orang sadar atas kelakuan dia," cibir Mima dengan wajah polos seakan-akan hatinya bersedih atas apa yang akan ia ceritakan.
Perkataannya berhasil membuat seluruh panitia menatap satu sama lain dengan tanda tanya. Sedangkan Thea semakin gelisah karena kini ia tahu benar apa yang akan diucapkan oleh gadis di depan.
Untuk sejenak, ia menyesal menolak tawaran Pierre untuk berbicara dengan Mima. Ia mengira selama kalimat-kalimat tidak masuk akal itu hanya diketahui oleh mereka saja, ia tidak masalah. Namun, beda urusannya kalau sekarang Mima memutuskan untuk mengeluarkan semuanya di depan seluruh panitia.
"Gak perlu basa-basi, gue langsung ke intinya aja ya. Jadi beberapa minggu lalu, gue denger Thea." Kalimat Mima berhenti sejenak seraya ia menatap sosok yang disebutkannya. "Ngomong ke Gianna kalo dia gak suka ngurusin salah satu anaknya."
Tubuh Thea semakin menegang ketika merasakan tatapan seluruh panitia yang kini terarah kepadanya. Tidak perlu lagi melihat, ia tahu bahwa beberapa di antaranya menyiratkan emosi kecewa dan heran.
"Gue juga denger Thea ngomong kalo anak yang sama itu gak guna di kelompoknya," desis Mima.