But Thea had reasons.
Thea had good enough reasons to doubt the truth behind Pierre's words when the boy who used to talk nonchalantly to her now had his lips sealed tight.
God. She really hated to think of it like this but it was as if he was losing trust in her.
"Enaaak, Pi, nasi kuningnya," ucap Thea dengan harapan dapat memecahkan keheningan di antara mereka.
Entah pikirannya sedang berada di mana, Pierre sedikit tersentak ketika mendengar suara kecil Thea. Kedua maniknya terangkat menuju milik sang gadis, menelusuri dua bola mata yang masih menyiratkan kehangatan yang sama seperti saat pertama mereka bertemu.
"Enak kan? Tadi gua beli di depan kompleks," balas laki-laki tersebut diiringi dengan sebuah senyuman kecil.
His eyes stayed locked to hers and that was when he saw it. He saw the slight hurt and doubt in her stare and slowly beat himself up for it.
Thea wouldn't say anything like that. He whispered to himself for the nth time. Yet he could notice how the little voice in his head seemed unsure every time those words came out.
"Oh? Are we breaking the rule tentang setiap makanan buat sarapan harus dibuat sendiri di rumah?" Pierre heard the hurt in her voice. "Gue kira lu serius pas bilang itu hehehe."
Seharusnya Thea tidak mendorong dirinya untuk mengeluarkan kekehan kecil di akhir kalimatnya. Sekarang ia merutuki dirinya sendiri karena ia yakin laki-laki di depannya sadar atas kepalsuan di balik tiga suku kata tersebut.
"Te..." bisik Pierre. Tatapannya sendu melihat kedua mata pasangan mentornya yang sedang berusaha menjauhi miliknya. Thea bahkan tidak lagi berusaha untuk memasang wajah ceria di depannya, membuat lekukan manis yang dipasang Pierre jatuh. "Gua... gak sempet aja buatnya tadi pagi. Jadi gua terpaksa beli deh. I'm sorry."
And I'm sorry if I'm hurting you right now.
Nafsu makan Thea hilang bagaikan embun di siang hari, dikonsumsi oleh pikiran negatif yang terus-menerus memenuhi benaknya beberapa hari ini. Sambil menarik napas panjang, ia memberanikan dirinya untuk kembali menatap Pierre.
Half of the courage she had disappeared as soon as she saw the pair of eye that she adores. She hated how he still had a soft spot even after keeping the truth from her. So she decided to once again, make a attempt to find it.
"Pi," Thea mulai berbicara dengan suara lembut, tetapi ada ketegasan yang tersirat dalam tatapannya. "Gue salah apa?"
"Gue tau lu bilang gak usah dipikirin lagi... tapi lu... berubah, Pi. You said you were still the same person but I don't think that's true."
He knew. She was sure of that.
"Please, kalo gue salah apapun kasih tau biar gue gak kayak orang bego gini."
Pierre memberanikan diri menatap Thea walaupun ada rasa perih di hatinya ketika menangkap mata gadis tersebut yang mulai berkaca-kaca di bawah cahaya matahari. Pikirannya berlari kemana-mana, mencoba untuk mencari satu jawaban yang sebaiknya ia berikan saat itu. Lebih baik tidak menunda lagi daripada otak Thea mulai membuat ribuan spekulasi.
"Gak ada, Te. You're okay. We're okay."